Selasa, 14 April 2015

“Halte, Hentian Cintaku” – Episode 6 – "Hilang"

“Halte, Hentian Cintaku” – Episode 6 – "Hilang"
by Shamy n Irfan
-----------------------------------------------
HILANG
-----------------------------------------------
Empat tahun berlalu, meski di tengah kelumpuhan saat itu Irfan berjuang dan tetap semangat hidup. Akibat kecelakaan, ia harus merelakan kehilangan kaki kirinya karena diamputasi. Namun, dengan gigih Irfan tidak memandang itu sebagai keterbatasan. Kini dia sudah bekerja sebagai seorang IT Consultant di salah satu perusahaan ternama di Bandung. Awalnya tidak mudah perusahaan menerima, tapi dengan tekad dan keahlian yang dimiliki Irfan bisa menduduki jabatan tersebut. Masa-masa sulit berlalu begitu saja karena Aisyah selalu ada untuknya. Meskipun wanita berjilbab itu sudah memiliki dunia sendiri sebagai guru dan seorang penulis buku.
"Yang, kamu yakin akan ke Jakarta?" tanya seorang pria di telpon.
"Iya, aku pesan sepasang baju pengantin di butik daerah Jakarta Selatan.”
"Sejak kapan?"
"Sudah satu bulan yang lalu, menjelang hari pernikahan kita, kenapa kamu masih sibuk?"
"Aisyah, mau bagaimana lagi, kerjaanku masih diburu deadline, aku bisa andalin kamu untuk ini, ya!” jawabnya seperti terburu-buru.
“Iya, tapi ....” Aisyah berusaha menginterupsi.
“Tenang, Yang! Ini tidak akan mempengaruhi tanggal pernikahan kita, Ok? Aku mencintaimu ...”
Tuuutt ... tuuutt ... suara line telpon sudah terputus.
“Selalu sibuk! Buru-buru amat, padahal aku belum beres ngomong, sebel deh!” gerutu Aisyah pada ponsel yang di genggamnya. Sambil memandangi ponsel, ia teringat sesuatu.
Selama setengah windu juga, Irfan tidak pernah bertemu Jasmine, bahkan di hari mereka wisuda. Ia hilang begitu saja seakan ditelan masa, namun sedetik pun Irfan tidak bisa melupakannya. Rasa itu masih ada padahal Irfan tahu Jasmine telah memiliki kekasih. Sementara rindu Irfan yang tersimpan lama di dada, seolah-olah menjadi bom waktu yang siap meledak dan memporak porandakan pikirannya.
Saat dalam perjalanan menuju Jakarta, ada perasaan mengganjal di hati Aisyah. Di pernikahan yang tinggal menghitung hari ini, Aisyah tak mau masih menyimpan sesal dan rasa bersalahnya. Oleh karena itu, dia ingin mengakui sesuatu pada Irfan. Melihat pria di sampingnya menyetir dengan bantuan kaki palsu, semakin membuat dirinya prihatin. Dia pikir, andai saja waktu itu tidak mengatakan hal bodoh pada Jasmine saat di kantin. Mungkin Irfan tidak akan mengalami hal seperti ini.
"Fan, aku mau bilang sesuatu ...." Aisyah tertunduk tidak berani melihat ke arah Irfan yang sedang menyetir mobil.
“Iya, tinggal bilang aja kali, Syah,” ujar Irfan yang masih fokus menyetir.
Mulailah Aisyah menceritakan semua yang pernah ia katakan pada Jasmine. Butiran air kesedihan berjatuhan terus membasahi pipinya, dengan seluruh ketulusan hati Aisyah berkata. "Aku minta maaf, Fan! Aku memang bodoh, harusnya sekarang kamu sudah bahagia dengan Jasmine, tapi ...," isak tangis menyendat setiap perkataan dari mulutnya keluar.
Irfan hanya terdiam lalu memelankan laju mobilnya, saat di kilometer tertentu ia berbelok ke sebuah rest area di sekitar jalan tol. Masih membisu, sepatah kata pun belum keluar dari mulut, hingga Irfan memarkirkan mobilnya. “Ayo, Syah! Kita cari makan dulu, aku mau ngopi, ngantuk nih!”
Ketika mereka berdua sudah duduk di meja cafe sekitar rest area tersebut. Irfan meminta Aisyah memesankan beberapa makanan, karena dia ingin ke kamar kecil dulu. Tangis Aisyah sudah mereda dan menunggu Irfan kembali, namun hingga makanan tiba, pria itu belum kunjung balik.
“Syah!” sambil menepuk pundak Aisyah, sampai membuatnya sedikit terkejut.
“Fan, kok lama?”
“Aku nyari kopi dulu.” Irfan kembali dengan dua gelas starbucks. “Ngopi, dulu Syah!” Sambil meletakan dua gelas kopi itu di meja.
Sebenarnya, Aisyah mencemaskan jika hanya memakai kaki palsu berjalan tidak akan senormal biasanya, ia kawatir Irfan terpeleset di jalan. Namun, baru ia saadari Irfan bukan lagi pria lemah seperti dahulu yang perlu memakai kursi roda kemanapun dia pergi.
Aisyah memandang Irfan, yang terlihat begitu lahap menikmati kentang goreng pesanannya. “Apa kamu mendengar apa yang aku katakan, Fan? Kamu tidak marah?” Pertanyaan Aisyah, menghentikan tangan Irfan untuk mengambil setiap kentang gorengnya.
“Marah? Itu sudah mereda sejak 5 menit yang lalu,” ucap Irfan.
“Lalu? Sekarang kamu kenapa? Kecewa padaku?”
“Kecewa? Iya, sempat! Tapi sudah aku buang itu tadi di toilet.”
“Maaf, mungkin sekarang aku membuatmu sedih.”
“Sedih? Untuk apa? Aku lebih sedih, jika terus melihatmu menangis sepanjang jalan, maka kubawa ke sini.”
“Iya, tapi kamu belum menerima permintaan maafku?”
“Maaf? Buat apa? Kamu sama sekali tidak bersalah, mungkin ini sudah suratan, lagian Jasmine sudah bahagia dengan seseorang di sana, kenapa aku harus mengharapkan dia lagi. Sekarang itu yang terpenting kamu harus berbahagia, Syah! Terima kasih sudah mau jujur padaku.”
Aisyah melihat ketulusan senyum, dari mimik wajah Irfan. Itulah yang membuat Aisyah merasa lebih tenang. Irfan memang menyimpan semua kekesalan, kekecewaan, dan amarah yang ditimbulkan oleh tindakan Aisyah, namun dia begitu mengerti demi kebahagiaan sahabatnya, dia tidak mau menunjukan itu. Sudah banyak Aisyah membantunya selama ini. Irfan hanya bisa menerima jika Jasmine bukanlah jodohnya.
"Sudahlah Syah, senyum donk ...." Lalu tangan Irfan mengukir senyum dibibir Aisyah.
"Apaan sih, Fan!" Lalu bibirnya tersungging tersipu malu.
* * *
Jasmine kemudian keluar dari ruangannya, menemui sepasang calon pengantin yang tengah menunggu di depan. Pegawainya bilang perempuan yang memesan baju pengantin itu, hendak protes karena jas pesanan untuk mempelai pria tidak sesuai seperti keinginkan mereka. Jasmine ingin sedikit berbicara, karena jika memang ada keluhan dan itu ringan mungkin wajar saja. Mereka yang minta selesai dalam tiga hari. Untuk membuat sepasang pakaian pengantin gaun dan jas senada, paling lambat satu minggu agar hasilnya sempurna.
"Permisi Mba, Mas, ada yang bisa saya bantu?" Jasmine menyapa kedua pasangan yang sedang duduk.
"Oh ini, pemiliknya?"
“Nama saya, Jasmine, kenapa mba?”
“Mba, jas calon suami saya ini kekecilan. Kenapa bisa kayak begini yah? Bukankah ukurannya sudah sesuai?” tanyanya bernada sinis.
“Benarkah? Maaf nanti kami perbaiki, kalian hanya memberi kami waktu tiga hari jadi mohon dimaklum jika ada sedikit kesalahan.”
“Sedikit? Kita tidak punya waktu lagi, besok mau dipakai untuk pre-wed, Mba!”
“Iya, Mba, mohon maaf kami bisa atasi secepat yang kita bisa, besok mungkin bisa dipakai.”
Kemudian sepasang calon pengantin itu berdiskusi, si pria hanya diam saja, membiarkan calon instrinya yang mengatur segala urusan pakaian. Jika Jasmine pandang, sepasang kekasih itu seakan melihat Aisyah dan Irfan. Dia pikir, jika mereka akan menikah mungkin sekarang keduanya seperti mereka. Lalu akhirnya, keputusan lahir dari mereka, memberi Jas’Fan Butik waktu sampai besok untuk memperbaiki jas milik si pria. Namun, saat mereka berdua keluar dari toko, keduanya melihat sebuah tuxedo hitam nan elegan terpajang di beranda. Si wanita menginginkan itu lalu si pria juga setuju karena terlihat jas tersebut dirasa muat untuk dirinya.
“Maaf, Mas, kami tidak menjual bahkan menyewakan Jas itu.”
“Loh, kenapa? Padahal sepertinya itu pas sekali di badan saya.”
“Sekali lagi mohon maaf, itu hanya pajangan, kami akan segera memperbaiki jas milik anda sampai besok.”
“Ya, sudah sayang! Besok kita ke sini lagi, nanti-nanti kita tidak perlu jahit pakaian di sini, kurang memuaskan.” Si wanita langsung berlalu dari butik itu dengan wajah begitu menyebalkan.
Jasmine hanya mencoba bersabar menghadapinya, selama hampir tiga tahun merintis butik. Baru pertama kali, ia menangani pelanggan yang seperti itu.
Bersambung ...
klik - Episode 7

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Gua bakal Seneng banget Klo Lu,
Meninggalkan Jejak Komentar Disini :)